Nafaznews.com - Di Desa Loli Dongo di Pantai Donggala, Suriyani terlempar ke lantai oleh gempa.
Ketika itu, dia sedang berdoa usai salat Magrib. Dia berlari ke atas bukit di belakang rumahnya, ketika dia melihat laut sedang menggelegak.
Dia kemudian menyaksikan tsunami menerjang rumahnya di bawah. Turun di pagi hari, dia melihat bangkai ikan tropis yang terdampar di atas puing-puing.
Di pantai Talise, festival budaya tahunan Palu Nomoni, direncanakan beroperasi penuh Jumat malam lalu. Sebelum kemudian, gempa disertai tsunami, membuyarkan acara itu.
Dalam upaya untuk menjelaskan kehancuran yang tidak dapat dimengerti, beberapa orang menyalahkan ritual animisme tradisional, seperti melemparkan seekor kambing dan bunga hidup ke dalam air, untuk memenuhi tuntutan para dewa laut, yang dikatakan penduduk sebagai bagian dari festival tersebut.
Mereka percaya, Tuhan menghukum mereka, karena menyimpang dari Islam, agama mayaoritas yang dianut penduduk di Indonesia.
Tahun lalu, festival itu diikuti oleh badai dahsyat. Pada saat itu, para pemimpin Islam setempat mengatakan acara itu seharusnya dilarang.
Tahun ini, festival ini menjadi penanda kerugian yang sangat besar.
Seminggu setelah bencana, beberapa tanda kemarahan muncul di sekitar patung kuda di Pantai Talise. Tulisan itu menggambarkan kemarahan yang dirasakan dari atas. Tulisan dalam huruf besar berwarna perak itu berbunyi, "kami menolak penyembah Setan".
"Ketika gempa bumi dan tsunami menghantam, sekelompok penari dari festival itu tampil, menelan api dan berputar-putar untuk memukul gendang dengan cepat," kata Setyo Wibowo, seorang pemilik toko di dekat Pantai Talise kepada The Guardian.
Pada hari Jumat, Setyo masih mencari anak perempuan dan menantu perempuannya, yang berada di pantai untuk menonton festival. Semua penari, katanya, juga hilang.
Ketika gerakan di patahan Palu Koro menyebabkan gempa Jumat lalu, tidak ada peringatan resmi di lapangan, bahwa tsunami bisa mengikutinya.
Mengangkangi beberapa lempeng tektonik, gempa bumi sering terjadi di Indonesia. Namun penduduk di Palu mengatakan, mereka kaget ketika terjadi tsunami menerjang teluk mereka, pertama kali menabrak Donggala di ujung barat dan kemudian meluncur ke perairan Palu yang biasanya tenang.
"Saya tidak pernah percaya akan ada tsunami di sini. Palu ada di teluk, bukan laut lepas," kata Maruni, menggelengkan kepalanya dan menahan air mata.
Pria berusia 50 tahun itu kembali ke rumahnya untuk pertama kalinya pada Jumat pagi, seminggu setelah gempa dan tsunami meratakan bagian dari garis pantai, menewaskan lebih dari 1.571 orang.
Kurang dari satu mil dari rumahnya, Jembatan Ponulele terbaring setengah terendam. Di kiri dan kanan pemandangan, adalah kehancuran.
"Itu hanya gila. Gila," kata Maruni, saat dia mengais-ngais puing-puing rumahnya, untuk mencari dokumen penting - sertifikat tanah, ijazah sekolah, dan foto keluarga.
Sutopo Purwo Nugroho, juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mengatakan, data satelit beresolusi tinggi menunjukkan, bagaimana topografi Palu menggambarkan seberapa jauh tsunami menembus pedalaman.
Ketika gelombang bertemu di sungai, katanya, itu mencapai satu setengah mil ke daratan. Di daerah lain, diblokir oleh perbukitan, itu hanya mencapai sejauh 2.000 kaki.
Sumber: Rakyatku.com
Posting Komentar untuk ""Kami Menolak Penyembah Setan," Tulisan di Patung Kuda Pantai Talise"
Berkomentarlah yang bijak dan bagikan jika bermanfaat